GUBERNUR Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution menyatakan,Indonesia membutuhkan bank infrastruktur karena bank komersial akan mengalami kesulitan untuk menyediakan dana bagi proyek infrastruktur.
Sejatinya, sejauh mana perlunya bank infrastruktur? Untuk menangani proyek yang prospeknya kurang menarik bagi bank nasional untuk membiayai atau proyek yang kurang berhasil,biasanya muncul ide pembentukan bank khusus. Masih ingat? Pada Mei 2009 mencuat ide untuk membentuk bank pertanian. Namun, gagasan itu kini tak terdengar lagi.Saat ini muncul gagasan untuk membentuk bank infrastruktur.
Apakah kredit infrastruktur tidak pernah mengucur? Sesungguhnya, kredit infrastruktur mengucur namun kurang deras.Tengoklah data berikut. Bank Mandiri telah mengucurkan kredit infrastruktur untuk jalan tol senilai Rp9,6 triliun hingga September 2011. Hal ini terdiri dari Rp1,8 triliun berupa pembiayaan bilateral dan Rp7,8 triliun berupa kredit sindikasi.BNI mengalokasikan Rp10 triliun.
Dari jumlah tersebut, kredit Rp7 triliun telah ditandatangani. Hingga September 2011,BNI telah mengucurkan kredit sindikasi ke PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp2,01 triliun. Sementara, BTN menyediakan Rp2 triliun untuk proyek jalan tol. Data itu menegaskan bahwa pendanaan proyek infrastruktur tidak menjadi kendala utama. Lalu di mana akar masalahnya sehingga proyek infrastruktur kurang gereget? Masalah utama antara lain berasal dari kurangnya ketersediaan lahan.
Untuk itu, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.RUU itu telah disahkan DPR pada 19 Desember 2011. Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum itu meliputi apa saja? Menurut UU tersebut,yang dimaksud pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah antara lain jalan umum,jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api; waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, dan terminal; infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi yang meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan,dan distribusi tenaga listrik, serta jaringan telekomunikasi dan informatika.
Sangat diharapkan, UU tersebut mampu mengatasi kurangnya ketersediaan lahan itu. Kurangnya ketersediaan lahan telah memberikan kontribusi terciptanya kredit yang sudah menjadi komitmen tetapi belum dicairkan (undisbursed loan).Statistik Perbankan Indonesia, November 2011 yang terbit pada 13 Januari 2012 menunjukkan total kredit (bukan hanya kredit infrastruktur) yang belum dicairkan naik 19,60 persen dari Rp553,39 triliun per November 2010 menjadi Rp661,87 triliun per November 2011.
Ternyata, kelompok bank umum swasta nasional (BUSN) devisa menjadi kontributor terbesar yaitu Rp273,95 triliun atau 41,39 persen; kelompok bank persero Rp176,62 triliun atau 26,68 persen; kelompok bank campuran Rp89,24 triliun (13,48 persen); kelompok bank asing Rp106,45 triliun (16,09 persen); kelompok BPD Rp12,82 triliun (1,94 persen) dan kelompok BUSN nondevisa Rp2,79 triliun (0,42 persen).
Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan dalam membentuk bank infrastruktur? Minimal ada tiga hambatan utama. Pertama, dana yang amat besar. Sungguh tidak mudah membentuk bank infrastruktur antara lain karena membutuhkan dana sangat besar. Pembentukan itu memerlukan sekitar Rp30 triliun. Jumlah itu justru akan lebih ampuh untuk membiayai proyek infrastruktur daripada untuk membentuk bank infrastruktur. Kedua, tenor yang panjang.
Selain itu, dana untuk proyek infrastruktur juga memakan waktu panjang, minimal lima tahun. Oleh karena itu, hanya bank nasional papan atas minimal 14 besar yang mampu menyalurkan kredit infrastruktur. Bank nasional papan menengah dan bawah memiliki preferensi untuk membiayai proyek yang lebih kecil dengan tenor lebih pendek. Ketiga, sumber daya manusia (SDM).
Akan menjadi sia-sia ketika membentuk bank infrastruktur tetapi tanpa SDM yang memiliki kompetensi tinggi dalam bidang kredit infrastruktur. Kompetensi ini hanya dimiliki bank nasional papan atas,padahal hal ini mutlak diperlukan. Bagaimana mengatasi hambatan tersebut? Pertama,membentuk sindikasi kredit. Ingat, dulu Indonesia pernah memiliki Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) sebagai bank yang fokus pada sektor pembangunan.
Sementara, BNI, Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD), dan BTN masing-masing fokus pada sektor perindustrian,perdagangan, perkebunan, dan perumahan. Untuk itu,akan lebih strategis untuk membentuk sindikasi kredit (loan syndication) yang terdiri dari bank pelat merah dan atau bank nasional papan atas.Sarinya,sindikasi kredit bukan hanya melibatkan bank persero tetapi juga bank swasta nasional. Kedua, menerbitkan obligasi.
Pemerintah pun bisa menerbitkan obligasi jangka panjang sebagai sumber pendanaan lain yang tidak kalah perkasa. Predikat layak investasi yang disandang Indonesia sungguh akan mendukung penerbitan obligasi semacam ini. Ketiga, menagih kemauan politis pemerintah. Pemerintah harus mampu menjadi komandan yang tegas dalam membangun infrastruktur. Tidak berhenti pada imbauan namun langsung terjun ke lapangan.
Dengan alternatif solusi demikian, pemerintah lebih efektif dan efisien dalam menuntaskan proyek infrastruktur. Intinya, pemerintah harus berdiri tegak menjadi pandu utama dalam pembangunan vital untuk menciptakan kesempatan kerja lebih luas. Hal ini bermanfaat untuk lebih menipiskan tingkat pengangguran yang kini mencapai 6,80 persen per Februari 2011.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan
(Koran SI/Koran SI/wdi)
0 Comment:
Post a Comment